HARI PENCEGAHAN BUNUH DIRI SEDUNIA : UBAH CARA PANDANG, SELAMATKAN HARAPAN
————————————————————————–
Oleh dr. Latifah Nurfadliana, Sp.KJ – Dokter Spesilalis Kedokteran Jiwa (Psikiater) RS Ernaldi Bahar Prov. Sumsel
Setiap 10 September, dunia memperingati Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia. Bunuh diri adalah tindakan yang dilakukan seseorang untuk mengakhiri hidupnya sendiri dan biasanya terkait dengan beban mental serta rasa putus asa mengenai masalah yang sedang dihadapi. eringatan ini menjadi pengingat bahwa bunuh diri bukan sekadar masalah pribadi, tetapi persoalan serius yang menyentuh sisi kesehatan, sosial, hingga ekonomi. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia, setiap tahunnya sebanyak 720 ribu orang meninggal karena bunuh diri, artinya ada satu orang yang mengakhiri hidup setiap 43 detik. Di Indonesia, Survei Kesehatan 2023 menunjukkan kelompok usia 15–24 tahun adalah yang paling rentan. Padahal, usia ini seharusnya menjadi masa produktif untuk bermimpi dan meraih cita-cita.
Bunuh diri tidak muncul dari satu sebab saja. Faktor biologis, psikologis, maupun sosial bisa saling berkaitan. Orang dengan depresi, gangguan cemas, kecanduan zat, bipolar, atau skizofrenia memiliki risiko lebih tinggi. Misalnya, seseorang yang mengalami depresi berisiko 36 kali lipat lebih besar melakukan bunuh diri dibanding mereka yang tidak mengalaminya.
Sayangnya, bunuh diri masih sering dibicarakan dengan cara yang menyudutkan korban. Seseorang yang mengungkapkan ingin mengakhiri hidup sering dianggap kurang iman, tidak bersyukur, atau hanya melebih-lebihkan masalah. Di Indonesia, stigma terkait masalah kesehatan mental, terutama bunuh diri masih dianggap sebagai isu yang sensitif. Stigma ini membuat orang yang sedang berjuang enggan mencari bantuan. Keluarga yang ditinggalkan pun kerap merasa malu dan disalahkan lingkungan. Padahal, bunuh diri bukanlah soal moral semata, melainkan masalah kesehatan mental yang harus ditangani dengan serius.
Tahun 2025 ini, Asosiasi Internasional Pencegahan Bunuh Diri mengangkat tema “Changing the Narrative on Suicide” atau Mengubah Narasi tentang Bunuh Diri. Harapannya, dengan mengubah narasi, kita bisa mengubah stigma dan kesalahpahaman tentang bunuh diri menjadi sikap yang peduli, empati dan mendukung. Bunuh diri merupakan masalah kesehatan mental yang perlu dibicarakan agar bisa dicegah. Mayoritas orang yang berpikir untuk bunuh diri sebenarnya tidak ingin mati. Mereka haknya ingin lepas dari penderitaan yang mereka alami. Dengan dukungan yang tepat, banyak orang yang punya pikiran bunuh diri bisa pulih dan bangkit kembali.
Berikut tanda-tanda yang harus kita waspadai pada orang sekitar, yaitu ungkapan ingin mati atau merasa hidup tidak berarti, perubahan perilaku mendadak (seperti menarik diri, agresif, memberi barang-barang berharga, meminta maaf, membuat surat wasiat) dan perubahan suasana hati drastis (seperti tampak murung dan sedih). Menanyakan langsung apakah seseorang memiliki pikiran bunuh diri tidak akan memicu keinginan bunuh diri. Justru, itu bisa membuat mereka merasa diperhatikan dan tidak sendirian. Apabila ada teman atau keluarga yang memperlihatkan tanda tersebut, ajaklah mereka bicara dengan tenang, dengarkan tanpa menghakimi, Lalu, arahkan agar mereka mencari bantuan profesional, baik ke psikiater atau psikolog.
Ingatlah, pikiran bunuh diri bukan tanda kelemahan, namun bukti bahwa seseorang sedang menanggung beban yang terlalu berat sendirian. Bunuh diri bukan satu-satunya jalan keluar. Ada cara lain untuk keluar dari rasa sakit ini, meskipun saat ini mungkin sulit terlihat.
Jangan takut untuk bicara. Bicara tentang perasaan bukan tanda kelemahan, tapi justru langkah menuju kesembuhan, selalu ada harapan, dan selalu ada jalan. Jangan menyerah, karena satu percakapan bisa menyelamatkan hidupmu. “Bicara tenang jiwa, selamatkan harapan, cegah bunuh diri.”
(humiw)
Leave a Reply