UPAYA-UPAYA MENGUBAH PERILAKU MENUJU “KEMERDEKAAN” LEPAS DARI PERUNDUNGAN
(Sumber : Risang Rimbatmaja, Peneliti dan praktisi dalam bidang Komunikasi Perubahan Perilaku, UNICEF )
Meninggalnya mahasiswa PPDS (Program Pendidikan Dokter Spesialis ) di salah satu PTN terkermuka di Jawa dengan dugaan perundungan, telah membuka semua mata bahwa perundungan di dunia pendidikan harus segera dilenyapkan.
Perpeloncoan adalah salah bentuk perundungan. Ario Bimo Utama dalam the conversation menulis dengan jelas: perpeloncoan di Indonesia sudah ada sejak era kolonial Belanda untuk menyambut peserta didik baru di tingkat perguruan tinggi. Disebut sebagi ontgroening yang berarti “menghilangkan warna hijau” karena mahasiswa baru dilambangkan berwarna hijau, layaknya bibit tanaman. Salah satu lembaga pertama yang tercatat melakukan perpeloncoan adalah School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) yang menjadi cikal bakal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Berdasarkan kisah Mohammad Roem, alumnus STOVIA, perpeloncoan terjadi selama tiga bulan karena STOVIA merupakan sekolah asrama. Pada masa tersebut, mahasiswa junior dikondisikan untuk menjadi pelayan bagi seniornya. Misalnya, mahasiswa baru harus memanggil seniornya dengan panggilan “Tuan”, menjadi kurir untuknya, atau mengelap sepatunya (https://theconversation.com/mengenal-sejarah-dan-praktik…).
Upaya-upaya mengubah perilaku bisa dikelompokkan menjadi 3E : Enforcement, Engineering, dan Education.
1) Enforcement (penegakkan hukum) mengubah perilaku dengan ancaman hukuman, sanksi, atau denda. Misalnya, pelaku mendapat hukuman penambahan masa studi, denda, kerja sosial, pemecatan sampai kurungan. Sementara, sekolah menerima hukuman lain, misalnya pengurangan bantuan keuangan, pembatasan akses sampai pembekuan. Karena tak mau mendapatkan hukuman-hukuman itu, orang-orang kemudian mengubah atau menyesuaikan perilakunya
2) Engineering atau rekayasa lingkungan (fisik) berupaya mengubah perilaku orang-orang dengan jalan mengubah lingkungan fisik. Memberi batasan atau pengendalian fisik. Misalnya, memisahkan orang yang bisa melakukan perpeloncoan dan mereka yang dapat menjadi korban. Atau yang secara tidak langsung, misalnya melengkapi lingkungan dengan sistem surveillance.
3) Education yang berupaya mengubah perilaku orang dengan membuat mereka paham, mendukung, sepakat, dan kemudian melakukan perilaku yang diharapkan. Bila dua E pertama bersifat memaksa, tidak sukarela, dan tidak mengandalkan pada kesadaran, pemahaman, penerimaan bersama, maka edukasi sifatnya sukarela dan justru ditentukan oleh hal-hal tadi. Makanya, intervensi utamanya adalah dialog atau minimal, pertukaran pesan di komunitas.
Dalam kasus perundungan, apakah kita bisa mengandalkan salah satu E?
Jawabannya tergantung situasi.
Bila sumber daya penegakan hukum memadai, termasuk pengawasan, penilaian, penerapan, dan upaya koreksi, sehingga mampu mencakup populasi tanpa terkecuali dan berjalan efektif, maka enforcement sudah cukup. Kalau terbatas, maka enforcement tetap bisa diandalkan, dengan catatan: yang potensial melanggar hanya sebagian kecil anggota populasi yang dipandang deviant (penyimpang). Artinya, ada norma dalam populasi, terutama di komunitas, bahwa perilaku itu salah dan mereka bisa membantu proses enforcement.
Masalahnya dengan perundungan di sekolah adalah perilakunya terjadi di mana-mana alias cukup masif. Di lain pihak, norma yang memandang pelaku sebagai deviant tampaknya belum kuat. Sebagian pihak malah memojokkan korban atas kejadian yang berlaku. Karena itu, enforcement adalah necessary but not sufficient. Jangan jadikan dia satu-satunya model intervensi.
Bila rekayasa lingkungan dapat dibangun dengan konstruksi yang benar-benar membatasi ruang gerak perilaku, maka engineering saja sudah cukup. Bila interaksi pelaku potensial (umumnya senior) terpisah dengan korban potensial dapat 100% diatur atau diawasi, maka engineering dapat diandalkan. Namun, kenyataannya, kontruksi lingkungan atau sistem pengawasan yang serba mencakup sulit diwujudkan. Karena itu, engineering juga not sufficient.
Bila perilaku mudah diubah, karena belum mengakar atau ada perilaku lain yang mudah menggantikan, maka edukasi bisa menjadi intervensi tunggal. Masalahnya, perundungan sudah mengakar, dibuktikan dengan pewarisan, yang berarti ada penanaman nilai antargenerasi atau dalam bahasa akademis: sosialisasi. Karena itu, edukasi mustahil berjalan sendiri.
Bauran atau mix 3E perlu dibuat, dicoba, dan kemudian disempurnakan untuk menemukan dosis yang tepat. Tidak akan mudah, namun mesti dimulai karena perundungan adalah warisan penjajah yang berbahaya. KALAU BELUM DIHILANGKAN, BELUM BISA KITA MENYATAKAN DIRI MERDEKA SEPENUHNYA.
(Hum-Iw)
)
Meninggalnya mahasiswa PPDS (Program Pendidikan Dokter Spesialis ) di salah satu PTN terkermuka di Jawa dengan dugaan perundungan, telah membuka semua mata bahwa perundungan di dunia pendidikan harus segera dilenyapkan.
Perpeloncoan adalah salah bentuk perundungan. Ario Bimo Utama dalam the conversation menulis dengan jelas: perpeloncoan di Indonesia sudah ada sejak era kolonial Belanda untuk menyambut peserta didik baru di tingkat perguruan tinggi. Disebut sebagi ontgroening yang berarti “menghilangkan warna hijau” karena mahasiswa baru dilambangkan berwarna hijau, layaknya bibit tanaman. Salah satu lembaga pertama yang tercatat melakukan perpeloncoan adalah School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) yang menjadi cikal bakal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Berdasarkan kisah Mohammad Roem, alumnus STOVIA, perpeloncoan terjadi selama tiga bulan karena STOVIA merupakan sekolah asrama. Pada masa tersebut, mahasiswa junior dikondisikan untuk menjadi pelayan bagi seniornya. Misalnya, mahasiswa baru harus memanggil seniornya dengan panggilan “Tuan”, menjadi kurir untuknya, atau mengelap sepatunya (https://theconversation.com/mengenal-sejarah-dan-praktik…).
Upaya-upaya mengubah perilaku orang bisa dikelompokkan menjadi 3E: Enforcement, Engineering, dan Education. Enforcement (penegakkan hukum) mengubah perilaku dengan ancaman hukuman, sanksi, atau denda. Misalnya, pelaku mendapat hukuman penambahan masa studi, denda, kerja sosial, pemecatan sampai kurungan. Sementara, sekolah menerima hukuman lain, misalnya pengurangan bantuan keuangan, pembatasan akses sampai pembekuan. Karena tak mau mendapatkan hukuman-hukuman itu, orang-orang kemudian mengubah atau menyesuaikan perilakunya
Engineering atau rekayasa lingkungan (fisik) berupaya mengubah perilaku orang-orang dengan jalan mengubah lingkungan fisik. Memberi batasan atau pengendalian fisik. Misalnya, memisahkan orang yang bisa melakukan perpeloncoan dan mereka yang dapat menjadi korban. Atau yang secara tidak langsung, misalnya melengkapi lingkungan dengan sistem surveillance.
Yang ketiga, education yang berupaya mengubah perilaku orang dengan membuat mereka paham, mendukung, sepakat, dan kemudian melakukan perilaku yang diharapkan. Bila dua E pertama bersifat memaksa, tidak sukarela, dan tidak mengandalkan pada kesadaran, pemahaman, penerimaan bersama, maka edukasi sifatnya sukarela dan justru ditentukan oleh hal-hal tadi. Makanya, intervensi utamanya adalah dialog atau minimal, pertukaran pesan di komunitas.
Dalam kasus perundungan, apakah kita bisa mengandalkan salah satu E?
Jawabannya tergantung situasi.
Bila sumber daya penegakan hukum memadai, termasuk pengawasan, penilaian, penerapan, dan upaya koreksi, sehingga mampu mencakup populasi tanpa terkecuali dan berjalan efektif, maka enforcement sudah cukup. Kalau terbatas, maka enforcement tetap bisa diandalkan, dengan catatan: yang potensial melanggar hanya sebagian kecil anggota populasi yang dipandang deviant (penyimpang). Artinya, ada norma dalam populasi, terutama di komunitas, bahwa perilaku itu salah dan mereka bisa membantu proses enforcement.
Masalahnya dengan perundungan di sekolah adalah perilakunya terjadi di mana-mana alias cukup masif. Di lain pihak, norma yang memandang pelaku sebagai deviant tampaknya belum kuat. Sebagian pihak malah memojokkan korban atas kejadian yang berlaku. Karena itu, enforcement adalah necessary but not sufficient. Jangan jadikan dia satu-satunya model intervensi.
Bila rekayasa lingkungan dapat dibangun dengan konstruksi yang benar-benar membatasi ruang gerak perilaku, maka engineering saja sudah cukup. Bila interaksi pelaku potensial (umumnya senior) terpisah dengan korban potensial dapat 100% diatur atau diawasi, maka engineering dapat diandalkan. Namun, kenyataannya, kontruksi lingkungan atau sistem pengawasan yang serba mencakup sulit diwujudkan. Karena itu, engineering juga not sufficient.
Bila perilaku mudah diubah, karena belum mengakar atau ada perilaku lain yang mudah menggantikan, maka edukasi bisa menjadi intervensi tunggal. Masalahnya, perundungan sudah mengakar, dibuktikan dengan pewarisan, yang berarti ada penanaman nilai antargenerasi atau dalam bahasa akademis: sosialisasi. Karena itu, edukasi mustahil berjalan sendiri.
Bauran atau mix 3E perlu dibuat, dicoba, dan kemudian disempurnakan untuk menemukan dosis yang tepat. Tidak akan mudah, namun mesti dimulai karena perundungan adalah warisan penjajah yang berbahaya. KALAU BELUM DIHILANGKAN, BELUM BISA KITA MENYATAKAN DIRI MERDEKA SEPENUHNYA.
(Hum-Iw)
Leave a Reply